KU ACUNGKAN JARI TENGAH PADA SEMUA PENYERAGAMAN oleh Reza Zea pada 3 Februari 2012 pukul 11:48 · * Publik * Teman (+) * Hanya Saya * Khusus * * Teman Dekat * MAN Tambakberas Jombang * Lihat semua daftar... * IAIN Soenan Kalidjogo * Daerah Yogyakarta * Keluarga * Kenalan * * Kembali “Selama masih ada ilusi mengenai tatanan sosial yang harmonis dan utuh, maka selama itu pula fantasi rasis akan terus bekerja dalam kesadaran manusia dalam upayanya mencari kambing hitam”. Sebaris kalimat yang tanpa sengaja saya temukan dalam buku Manusia Politik, buah karya dari Robertus Robert, Sebuah studi mengenai pemikiran Slavoj Zizek. Secara sadar kutipan tersebut saya tulis sebagai “status” di sebuah situs jejaring sosial. Belum genap satu jam, kawan saya di Jakarta memberikan tanggapan atas apa yang saya tulis, “bedakan antara ilusi dan cita-cita!!! Sejarah masyarakat kita tidak mengenal rasisme bung!”. Cuih, terdengar bullshit di telinga saya! Saya katakan padanya (tentunya perdebatan ini masih dengan penggunaan teknologi internet). Apa bedanya cita-cita dan ilusi? Lalu pencerahan, kemajuan, masyarakat tanpa kelas cita-cita atau ilusi? Justru karena cita-cita atau yang ideal itu gagal di hadirkan dalam realita itulah lalu di cari-cari akar persoalanya, ingat fantasi rasis berakar dalam kegagalan permanen masyarakat yang sadar "akan yang kosong dalam dirinya", sehingga terus bermimpi menjadikan dirinya total seperti yang di katakan oleh zizek. Lalu pikir ulang deh tentang bangsa kita yang harmonis.. Terdengar sampah di telinga saya! Ingatkah anda dengan perang bubat? Lalu bagaimana dengan orde baru yang pada awal berdirinya dan selanjutnya setiap tahun selalu menganjurkan agar etnis tionghoa untuk membaur dengan bangsa ini. Di titik inilah soeharto ingin membangun sebuah pandangan bahwa "pada dasarnya negara dan bangsa kita sudah bersatu tapi dalam realitas selalu ada ganjalan, yakni etnis tionghoa yang gagal membaur". Inilah integralisme NKRI ala orde baru yang menyebabkan isu etnis dan agama masih menjadi isu yang paling sensitif sampai sekarang. Dan bukankah ini hal yang sama dengan apa yang terjadi di PMII Rayon Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Dari awal bergelut, kita sudah di injeksikan tentang tatanan masyarakat yang utuh dan lengkap. Tentang faksi-faksi yang disembunyikan. Tentang Soliditas dan “satu bendera” yang menjadi doktrin utama. Tentang mimpi-mimpi persatuan dan persahabatan yang utuh dan tak retak. Di titik inilah fantasi rasis mendapatkan pendasarannya secara teoritik. Sebab yang ideal gagal dihadirkan, mekanisme pengkambing-hitaman mulai beroperasi dalam ranah si Subject tadi. Mulai dari isu etnis, kurangnya kesadaran komunal sampai ketidak-percayaan di jadikan dalih ketika “fantasi” tersebut gagal terwujud dalam realitas. Sejatinya dalam fantasi selalu ada retakan antara yang ideal dengan yang real. Saya, kamu, kita, kalian, kami, mereka, dan manusia manapun selalu mencoba menyulam robekan tadi dan kita tahu tak pernah ada yang berhasil merajut robekan tadi. Lantas apa kita mesti pesimis lalu menjadi fatalis dan bersikap autis begitu saja? Oh.. tentu saja tidak. Bukan berarti persatuan dan persekawanan adalah hal yang salah. Yang terpenting yang perlu di tanamkan dalam benak kita adalah bahwa dunia ini begitu plural yang tak pernah bisa kita tunggalkan dalam satu warna. Maka yang perlu kita lakukan adalah teruslah merajut tanpa adanya ilusi tentang sebuah masyarakat yang utuh dan lengkap di dunia ini. Karena masyarakat yang utuh cuma ada di surga kelak. Mari bangun kawan dari tidur kita yang panjang ini. Mari kita hancurkan mimpi yang terlanjur menjadi leviathan di sekiling kita. Ilusi tentang sebuah masyarakat yang utuh dan tak retak. Sebuah mimpi yang hanya akan terus-menerus melahirkan fasisme persatuan dan sebentuk persahabatan yang tak lebih dari nepotisme, oligarki, dan gerombolan seperti yang kita rasakan sekarang ini. Kami bernaung dengan atap yang sama.. Kami berdiri di bumi yang sama.. Kami tidak mengenal persatuan yang dipaksakan.. Kami anti kebenaran yang diseragamkan.. Kami menolak yang tunggal dan mengimani yang plural.. Kami bertuhan pada kebenaran.. Kami beriman pada kebebasan.. Monopoli adalah setan..
1 komentar:
sebuah refleksisang malam, yang gelisah akan adanya sebuah penyeragaman yang beragam,,,
mendambakan yang plural,,,
mengagungkan perbedaan, yang merupakan keindahan,,
Posting Komentar